Sudah saatnya bahwa hukum yang ada harus bisa mengatasi
kejahatan Internet (cybercrime). Kajahatan dalam bidang TI secara umum terdiri
dari dua kelompok. Pertama, kejahatan biasa yang menggunakan TI sebagai alat
bantunya. Dalam kejahatan ini, terjadi peningkatan modus operandi dari semula
menggunakan peralatan biasa, sekarang telah memanfaatkan TI. Dampak dari
kejahatan biasa yang sudah menggunakan TI ternyata berdampak serius terutama
jika dilihat dari jangkauan dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan
tersebut. Pencurian uang atau pembelian barang dengan kartu kredit melalui Internet
dapat menelan korban di wilayah hukum negara lain, suatu hal yang jarang
terjadi dalam kejahatan konvensional. Kedua, kejahatan yang muncul setelah era
Internet, di mana sistem komputer sebagai korbannya. Jenis kejahatan dalam
kelompok ini semakin bertambah seiring dengan kemajuan TI itu sendiri. Salah satu contoh yang termasuk
dalam kejahatan kelompok kedua adalah perusakan situs Internet, pengiriman
virus atau program berbahaya yang dapat merusak sistem komputer tujuan.
Kesulitan yang banyak dihadapi dengan perangkat perundangan
yang selama ini berlaku antara lain ada pada penindakan terhadap kejahatan
jenis kedua, yang ternyata belum diatur dalam KUHP. Kesulitan berikutnya adalah
pada pengumpulan dan penyajian barang bukti yang sah di pengadilan. Sistem
hukum harus dapat mengakui catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang
sah di pengadilan. Pengaturan penindakan terhadap pelaku kejahatan di bidang TI
sangat penting, karena baik korban aktual maupun korban potensialnya sangat
luas. Demikian pula jangkauannya, sangat luas dan memiliki peluang untuk
dilakukan secara lintas negara, dan heterogen dengan kualitas dan persepsi yang
berbeda. Substansinyapun beragam, meliputi segala aspek kehidupan baik yang
bersifat positip maupun negatip. Informasi muatannya ada yang masih berupa
konsep, issu, data, fakta dan gagasan
yang bersifat objektif dan dapat pula bersifat subjektif. Kepentingan
yang terkait dapat berupa kepentingan negara, publik, kelompok atau pribadi.
Pendapat Tentang
Cyberlaw.
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia maya, yang
umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau
fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu,
Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
Contoh permasalahan yang berhubungan dengan hilangnya ruang
dan waktu antara lain:
Seorang penjahat komputer (cracker) yang berkebangsaan
Indonesia, berada di Australia, mengobrak-abrik server di Amerika, yang
ditempati (hosting) sebuah perusahaan Inggris. Hukum mana yang akan dipakai
untuk mengadili kejahatan cracker tersebut? Contoh kasus yang mungkin
berhubungan adalah adanya hacker Indonesia yang tertangkap di Singapura karena
melakukan cracking terhadap sebuah server perusahaan di Singapura. Dia diadili
dengan hukum Singapura karena kebetulan semuanya berada di Singapura.
Nama domain (.com, .net, .org, .id, .sg, dan seterusnya)
pada mulanya tidak memiliki nilai apa-apa. Akan tetapi pada perkembangan
Internet, nama domain adalah identitas dari perusahaan. Bahkan karena
dominannya perusahaan Internet yang menggunakan domain “.com” sehingga
perusahaan-perusahaan tersebut sering disebut perusahaan “dotcom”. Pemilihan
nama domain sering berbernturan dengan trademark, nama orang terkenal, dan
seterusnya. Contoh kasus adalah pendaftaran domain JuliaRoberts.com oleh orang
yagn bukan Julia Roberts. (Akhirnya pengadilan memutuskan Julia Roberts yang
betulan yang menang.) Adanya perdagangan global, WTO, WIPO, dan lain lain
membuat permasalahan menjadi semakin keruh. Trademark menjadi global.
Pajak (tax) juga merupakan salah satu masalah yang cukup
pelik. Dalam transaksi yang dilakukan oleh multi nasional, pajak mana yang akan
digunakan? Seperti contoh di atas, server berada di Amerika, dimiliki oleh
orang Belanda, dan pembeli dari Rusia. Bagaimana dengan pajaknya? Apakah perlu
dipajak? Ada usulan dari pemerintah Amerika Serikat dimana pajak untuk produk
yang dikirimkan (delivery) melalui saluran Internet tidak perlu dikenakan
pajak. Produk-produk ini biasanya dikenal dengan istilah “digitalized
products”, yaitu produk yang dapat di-digital-kan, seperti musik, film,
software, dan buku. Barang yang secara fisik dikirimkan secara konvensional dan
melalui pabean, diusulkan tetap dikenakan pajak.
Bagaimana status hukum dari uang digital seperti cybercash?
Siapa yang boleh menerbitkan uang digital ini?
Perkembangan teknologi komunikasi dan komputer sudah
demikian pesatnya sehingga mengubah pola dan dasar bisnis. Untuk itu cyberlaw
ini sebaiknya dibahas oleh orang-orang dari berbagai latar belakang (akademisi,
pakar TekInfo, teknis, hukum, bisinis, dan pemerintah). Munculnya kejahatan di
Internet pada awalnya banyak menimbulkan pro-kontra terhadap penerapan hukum
yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan saat itu sulit untuk menjerat hukum
para pelakunya karena beberapa alasan. Alasan yang menjadi kendala seperti
sifat kejahatannya bersifat maya, lintas negara dan sulitnya menemukan
pembuktian.
Semua orang akan sependapat (kesepakan universal) bahwa
segala bentuk kejahatan harus dikenai sanksi hukum, menurut kadar atau jenis
kejahatannya. Begitu juga kejahatan TI apapun brntuknya tergolong tindakan
kejahatan yang harus dihukum. Pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah
perundangan di Indonesia sudah mengatur masalah tersebut ? Wigrantoro dalam
naskah akademik tentang RUU bidang TI menyebutkan terdapat dua kelompok
pendapat dalam menjawab pertanyaan ini:
– Kelompok
pertama berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada perundangan yang mengatur
masalah kriminalitas penggunaan TI (cybercrime) dan oleh karena itu jika
terjadi tindakan kriminal di dunia maya sulit bagi aparat penegak hukum untuk
menghukum pelakunya. Pendapat ini diperkuat dari kenyataan bahwa banyak kasus
kriminal yang berkaitan dengan dunia maya tidak dapat diselesaikan oleh sistem
peradilan dengan tuntas karen aparat menghadapi kesulitan dalam melakukan
penyidikan dan mencari pasal-pasal hukum yang dapat digunakan sebagai landasan
tunuttan di pengadilan.
– Kelompok
kedua beranggapan bahwa tidak ada kekosongan hukum, oleh karenanya meski belum
ada undang-undang yang secara khusus mengatur masalah cybercrime, namun
demikian para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum yang sudah ada.
Untuk melaksanakannya diperlukan keberanian hakim menggali dari undang-undang
yang ada dan membuat ketetapan hukum (yurisprudensi) sebagai landasan keputusan
pengadilan. Kelompok ini berpendapat bahwa mengingat lamanya proses penyiapan
suatu undang-undang, sementara demi keadilan, penanganan tindakan kejahatan TI
tidak dapat ditunda, maka akan lebih baik kiranya jika digali ketentuan hukum
yang ada dan dianalisis apakah ketentuan hukum tersebut dapat digunakan sebagai
landasan tuntutan dalam kejahatan TI.
Pendapat dua kelompok di atas mendorong diajukannya tiga
alternatif pendekatan dalam penyediaan perundang-undangan yang mengatur masalah
kriminalitas TI.
– Alternatif
Pertama, adalah dibuat undang-undang khusus yang mengatur masalah tindak pidana
di bidang TI. Undang-undang ini bersifat lex specialist yang khusus mengatur
masalah pudana pelanggaran pemanfaatan TI, baik yang tergolong kajahatan
konvensional menggunakan komputer sebagai alat, maupun kejahatan jenis baru
yang muncul setelah adanya Internet dan menjadikan TI sebagai sarana kejahatan.
– Alternatif
kedua, memasukkan materi kejahatan TI ke dalam amandemen KUHP yang digodok oleh
tim Dept Kehakiman dan HAM. Sebagai mana diketahui KUHP belum mencakup
jenis-jenis kejahatan TI khususnya di dunia maya.
– Alternatif
ketiga, melakukan amandemen terhadap semua undang-undang yang diperkirakan akan
berhubungan dengan pemanfaatn TI seperti misalnya UU perpajakan, perbankan,
asuransi, kesehatan, pendidikan nasional dll. Amandemen terhadap berbagai UU ini
untuk menyesuaikan kemungkinan adanya pelanggaran terhadap klausa yang
tergolong pidana.
Sekarang ini negara kita
sudah memiliki Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang
merupakan salah satu perangkat hukum untuk mengatur pemanfaatan TI. Di samping
itu negara RI perlu juga memiliki Undang-undang Tindak Pidana di Bidang
Teknologi Informasi (UU TIPITI). Diharapkan kedua undang-undang ini dapat
saling melengkapi dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi
masyarakat pengguna TI.
0 komentar:
Posting Komentar